Makalah Motivasi Dalam Organisasi (Pengertian, Motif dan Teori Kontemporer)

Halo sahabat pelajar, selamat datang di blog Materi Pendidikan. Blog ini membahas tentang materi penting yang ada di sekolah. Salah satunya materi tentang Makalah Motivasi Dalam Organisasi (Pengertian, Motif dan Teori Kontemporer). Kami berusaha memberikan materi yang lengkap kepada sobat dengan melampirkan beberapa gambar yang terkait dengan materi tersebut agar mudah dimengerti. Semoga materi yang kami sajikan tentang Makalah Motivasi Dalam Organisasi (Pengertian, Motif dan Teori Kontemporer) dapat anda pahami dan sekaligus berguna bagi sobat. Bila sobat ingin mengetahui materi-materi penting lainnya silakan lihat di daftar isi blog ini. Baiklah selamat membaca materi yang sedang sobat cari berikut ini :

Judul : Makalah Motivasi Dalam Organisasi (Pengertian, Motif dan Teori Kontemporer)
Link : Makalah Motivasi Dalam Organisasi (Pengertian, Motif dan Teori Kontemporer)

Rekomendasi Materi!!!


Makalah Motivasi Dalam Organisasi (Pengertian, Motif dan Teori Kontemporer)



Kali ini saya akan membahas mengenai makalah motivasi dalam organisasi, adapun pembahasannya yaitu mengenaitu pengertian motivasi, motif, dan teori kontemporer.
berikut makalah motivasi dalam organisasi, semoga dapat membantu.

MOTIVASI DALAM ORGANISASI

Motivasi dalam Organisasi

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Manajemen




 Kali ini saya akan membahas mengenai makalah motivasi dalam organisasi, adapun pembahasannya yaitu mengenaitu pengertian motivasi, motif, dan teori kontemporer.  berikut makalah motivasi dalam organisasi, semoga dapat membantu.



Fakultas Ekonomi UNJANI
Jurusan Akuntansi
Cimahi
2016
Pengertian Motivasi
Saat ini, secara virtual semua orang (praktisi dan sarjana) punya definisi tersendiri. Biasanya kata-kata berikut ini dimasukkan dalam definisi: hasrat, keinginan, harapan, tujuan, sasaran kebutuhan, dorongan, motivasi, dan insentif. Secara teknis, istilah motivasi, berasal dari kata latin movere, yang berarti “bergerak”. Arti ini adalah bukti dari definisi kompherensif berikut ini: Motivasi adalah proses yang dimulai dengan defisiensi fisiologis atau psikologis yang menggerakkan perilaku atau dorongan yang ditunjukan untuk tujuan atau insentif. Dengan demikian, kunci untuk memahami proses motivasi bergantung pada pengertian dan hubungan antara kebutuhan, dorongan, dan insentif. Dalam konteks sistem, motivasi mencakup 3 elemen yang bertinteraksi dan saling tergantung:
1.      Kebutuhan. Kebutuhan tercipta saat tidak adanya keseimbangan fisiologis atau psikologis. Misalnya, kebutuhan muncul saat sel dalam tubuh kehilangan makanan atau air atau ketika tidak ada orang lain yang bertindak sebagai teman atau sahabat. Meskipun kebutuhan psikologis mungkin berdasarkan defisiensi, tapi kadang juga tidak. Misalnya, individu dengan kebutuhan kuat untuk maju mungkin mempunyai sejarah pencapaian yang konsisten.

2.      Dorongan. Dengan beberapa pengecualian, dorongan, atau motif (dua istilah yang sering digunakan secara bergantian), terbentuk untuk mengurangi kebutuhan. Dorongan fisiologis dapat didefinisikan sebagai kehilangan petunjuk. Dorongan fisiologis atau psikologis adalah tindakan yang berorientasi dan menghasilkan daya dorong dalam meraih insentif. Hal tersebut adalah proses motivasi. Contohnya kebutuhan akan makanan dan minuman, diterjemahkan sebagai dorongan lapar dan haus, dan kebutuhan berteman menjadi dorongan untuk berafiliasi.


3.      Insentif. Didefinisikan sebagai semua yang akan menurangi sebuah kebutuhan dan dorongan. Dengan demikian, memperoleh insentif akan cenderung memulihkan keseimbangan fisiologis atau psikologis dan akan mengurangi dorongan. Makan, minum, dan berteman cenderung akan memulihkan keseimbangan dan mengurangi dorongan yang ada. Makanan, air, dan teman merupakan insentif dalam contoh ini.
Kita tahu bahwa motivasi merupakan hasil interaksi antara individu dengan situasi. Tentu saja, setiap individu memiliki dorongan motivasional dasar yang berbeda-beda. Kita mendefinisikan motivasi (motivation) sebagai proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuannya. Sementara motivasi umum berkaitan dengan usaha mencapai tujuan apa pun, kita akan mempersempit fokus tersebut menjadi tujuan-tujuan organisasional untuk mencerminkan minat kita terhadap perilaku yang berhubungan dengan pekerjaan.

Motif
1.      Motif Sekunder
Para ahli psikologi tidak sepenuhnya setuju mengenai bagaimana mengelompokkan berbagai motif manusia, tetapi mereka menyatakan beberapa motif tidak dapat dipelajari dan didasarkan secara fisiologis. Motif-motif tersebut disebut fisiologis, biologis, tidak dipelajari, atau primer. Istilah terakhir akan digunakan di sini karena ia lebih kompherensif daripada yang lain. Akan tetapi, penggunaan istilah primer tidak mengimplikasikan bahwa motif tersebut lebih diutamakan daripada motif umum dan sekunder. Meskipun pengutamaan motif primer diimplikasikan dalam beberapa teori motivasi, tapi ada banyak situasi di mana motif umum dan sekunder lebih mendominasi daripada motif primer.
Dua kriteria harus dipenuhi  agar motif dapat dimasukkan dalam klasifikasi primer: Motif harus tidak dipelajari, dan motif harus didasarkan secara fisiologiss. Dengan definisi tersebut, motif primer yang paling dikenal secara umum adalah lapar, haus, tidur, menghindari sakit, seks, dan perhatian maternal (ibu). Meskipun persyaratan fisiologis sangat dasar disamakan dengan kebutuhan primer, namun pernyataan terbaru menyatakan bahwa otak kemungkinan punya peran dalam motif seseorang. Implementasi kebutuhan emosi akan memenuhi priteria primer, tidak dipelajari dan didasarkan secara fisiologis. Neuropsikolog mulai melakukan penelitian mengenai peran otak dalam motif, tetapi aplikasi potensial di tempat kerja telah diakui.
2.      Motif Umum
Agar termasuk dalam kategori umum, sebuah motif haruslah tidak dipelajari, tetapi tidak disarkan pada fisiologis. Sementara kebutuhan primer mengurangi ketegangan atau stimulasi, kebutuhan umum justru diperlukan untuk memengaruhi seseorang untuk meningkatkan sejumlah stimulasi. Dengan demikian, kebutuhan tersebut kadang-kadang disebut “motif stimulus”. Meskipun tidak semua psikolog sependapat, namun motif keingintahuan, manipulasi, aktivitas, dan (mungkin) afeksi sepertinya paling memenuhi kriteria untuk klasifikasi tersebut. Pemahaman motif umum penting untuk studi perilaku manusia terutama dalam organisasi. Motif umum lebih relevan untuk perilaku organisasi daripada motif primer.
a.       Motif Keingintahuan, Manipulasi, dan Aktivitas
Secara umum diketahui bahwa motif keingintahuan, manipulasi, dan aktivitas pada manusia sangat kuat; siapapun yang telah membesarkan atau banyak berinteraksi dengan anak kecil akan mendukung pendapat umum tersebut. Meskipun dorongan tersebut sering membuat anak kecil berada dalam situasi yang bermasalah, namun keingin tahuan, manipulasi, dan aktivitas dapat sangat bermanfaat saat mereka dewasa. Jika motif tersebut dihilangkan atau dihalangi, seluruh masyarakat mungkin menjadi sangat membosankan. Hal yang sama juga berlaku pada prganisasi. Jika karyawan tidak diizinkan mengekspresikan motif keingintahuan, manupulasi, dan aktivitas mereka, mereka menjadi tidak termotivasi.
b.      Motif Afeksi
Cinta atau afeksi merupakan bentuk dorongan umum yang sangat kompleks. Bagian kompleksitas tersebut berakar dari fakta bahwa dalam banyak hal, cinta serupa dengan dorongan primer dan di lain hal serupa dengan dorongan sekunder. Secara khusus motif afeksi sangat berhubungan dengan motif seks primer pada satu sisi dan dengan motif afiliasi sekunder pada sisi lainnya. Dengan alasan itulah afeksi kadang-kadang dikategorikan dalam ketiga motif tersebut, dan beberapa psikolog bahkan tidak mengakuinya sebagai motif yang terpisah. Afeksi pantas menerima perhatian karena perkembangannya yang penting dalam dunia modern. Hal ini sepertinya sesuai dengan pepatah, “Cinta membuat dunia berputar” dan “Cinta mengalahkan segalanya”. Dalam dunia dimana kita mengalami konflik interpersonal, dalam individu, dan nasional, dan dimana kualitas kehidupan, nilai keluarga, dan hak manusia menjadi semakin penting dalam masyarakat modern, motif afeksi bertambah penting dalam studi perilaku manusia secara umum, dan perilaku organisasi secara khusus
3.      Motif Sekunder
Secara khusus, prinsip pembelajaran dari penguatan (reinforcement) secara konseptual dan praktis berhubungan erat dengan motivasi. Hubungan tersebut menjadi jelas saat penguatan dibagi menjadi kategori primer dan sekunder dan digambarkan sebagai insentif. Akan tetapi, beberapa diskusi menganggap penguatan hanya sebagai konsekuensi yang berfungsi meningkatkan motivasi untuk kembali menunjukkan perilaku. Akan tetapi, sekali lagi, perlu ditekankan bahwa meskipun berbagai konsep perilaku dapat dipisahkan untuk studi dan analisis, namun dalam kenyataannya konsep seperti penguatan dan motivasi tidak bekerja sebagai entitas terpisah dalam menghasilkan perilaku manusia. Pengaruh interaktif selalu ada.

a.       Motif Kekuasaan
Orang yang mempelopori motif kekuasaan adalah psikolog Alfed Adler. Secara resmi, Adler memutuskan hubungannya dengan Sigmund Freud dan mengajukan teori yang berlawanan. Sementara Freud menekankan dampak masa lalu dan seks, motivasi bawah sadar, Adler mengganti berbagai dorongan masa depan menjadi superioritas atau kekuasaan.
Untuk menjelaskan kebutuhan kekuasaan, kebutuhan untuk memanipulasi orang lain atau dorongan untuk memimpin orang lain, Adler mengembangkan konsep kompleks inferioritas dan kompensasi. Dia merasa bahwa setiap anak kecil mengalami rasa inferioritas. Jika perasaan inferioritas ini digabungkan dengan apa yang disebutnya kebutuhan bawaan akan kekuasaan, dua hal tersebut mengendalikan semua perilaku. Gaya hidup seseorang ditandai dengan usaha untuk mengompensasikan perasaan inferioritas, yang dikombinasikan dengan dorongan bawaan lahir akan kekuasaan. Meskipun para psikolog modern tidak secara umum menerima pendapat bahwa dorongan kekuasaan adalah bawaan lahir dan dominan, namun belakangan ini hal tersebut telah menjadi minat baru. Penyelidikan mengenai kekuasaan telah diamati dalam masyarakat Amerika modern.

b.      Motif Berprestasi
Meskipun motif kekuasaan telah dikenalkan dan dibahas sejak dulu, namun baru-baru ini saja ada aktivitas penelitian untuk motif kekuasaan. Hal tersebut berkebalikan dengan motif berprestasi. Meskipun telah dikenal seperti motif-motif lain, banyak hal yang sudah diketahui mengenai prestasi daripada motivasi lainnya dikarenakan banyaknya penelitian yang dilakukan selama bertahun-tahun. Prestasi bisa didefinisikan sebagai tingkat dimana orang berharapmenyelesaikan sasaran yang menantang, berhasil dalam suatu persaingan, dan menunjukkan keinginan untuk umpan balik yang jelas berkaitan dengan kinerja.
David C.McClelland, psikolog  Harvard, adalah orang yang banyak memelajari motif berprestasi, dan ia juga melakukan penelitian mengenai kekuasaan. McClelland secara mendalam menginvestigasi dan menulis mengenai semua aspek nAch (prestasi). Hasil penelitiannya adalah profil karakteristik orang yang sukses. Karakteristik khusus yang dimiliki orang yang sukses:
·         Penggambilan resiko sedang
Mungkin merupakan karakteristik yang paling deskriptif dari orang yang memiliki nAch tinggi. Pada permukaan, orang yang sukses tampaknya mengambil resiko tinggi. Akan tetapi, sekali lagi penelitian menghasilkan pandangan yang berbeda. Orang dengan pencapaian rendah mengambil resiko besar atau mengambil sedikit resiko, dan orang yang sukses mengambil resiko redang.
·         Kebutuhan umpan balik segera
Berhubungan dekat dengan orang yang tingkat prestasinya tinggi  dengan mengambil resiko sedang adalah keinginan untuk mendapat umpan balik yang cepat. Orang dengan nAch menyukai aktivitas yang memberikan umpan balik bergarga dan cepat mengenai kemajuan mereka mencapai tujuan.
·         Puas dengan prestasi
Orang yang tingkat prestasi atau pencapaian tinggi (high achiever) menganggap penyelesaian tugas merupakan hal yang menyenangkan secara pribadi; mereka tidak mengharapkan atau menginginkan penghargaan material. Ilustrasi dari karakteristik ini adalah uang, tetapi bukan untuk alasan umum seperti menginginkan uang demi kepentingan diri sendiri atau untuk benefit material yang dapat dibeli.
·         Asyik dengan tugas
Sekali orang yang tingkat pencapaiannya tinggi menentukan tujuannya, mereka cenderung total dengan tugas mereka sampai selesai dengan sukses. Mereka tidak tahan meninggalkan pekerjaan terbengkalai dan tidak puas dengan diri sendiri sampai mereka menggunakan usaha maksimal. Jenis komitmen yang didedikasikan sering direfleksikan dalam kepribadian lahiriah, yang sering menghasilkan efek negatif pada orang yang berhubungan dengan  mereka. Orang dengan tipe inisering dianggap tidak ramah “penyendiri”. Mereka sangat pendiam dan jarang menyombongkan keberhasilan mereka. Mereka cenderung realistis dengan kemampuan mereka dan tidak mengizinkan orang lain menghalangi pencapaian tujuan mereka. Secara jelas, dengan cara ini tidak selalu sejalan dengan orang lain. Secara khusus, mereka adalah tenaga penjualan, dan jarang sekali manajer pemasaran. Terdapat penelitian yang  membuktikan bahwa orang yang sukses dengan karakteristik usaha kooperatif mungkin lebih efektif daripada usaha kompetitif individual. Orang yang tingkat pencapaian tinggi menikmati pekerjaan mereka dengan insentif gaji yang jelas berhubungan dengan kinerja dan situasi yang sesuai dengan tantangan pencapaian tujuan yang direncanakan manajer, yang jika dicapai akan menghasilkan penghargaan yang nyata.

c.       Motif Afiliasi
Afiliasi memainkan peran yang sangat kompleks, tetapi penting dalam perilaku manusia. Afiliasi dapat didefinisikan sebagai tingkat di mana orang mencari persetujuan dari orang lain, menyesuaikan diri dengan harapan mereka, dan menghindari konflik atau konfrontasi dengan orang lain. Orang yang memiliki kebutuhan afiliasi tinggi mengekspresikan keinginan terbesar mereka agar diterima secara sosial oleh orang lain. Kadang-kadang, motif afiliasi disamakan dengan motif sosial dan atau dinamika kelompok. Motif afiliasi tidaklah seluas yang diimplikasikan oleh definisi dinamika kelompok.
Studi afiliasi selanjutnya dipersulit dengan keyakinan pandangan beberapa ahli perilaku bahwa afiliasi merupakan motif yang tidak dipelajari. Kembali ke studi Hhawthorne, pentingnya motif afiliasidalam perilaku peserta organisasi menjadi sangat jelas. Motif afliasi merupakan bagian penting dari dinamika kelompok.

d.      Motif Keamanan
Keamanan merupakan motif yang sangat kuat dalam masyarakat teknologi yang bergerak cepat seperti ditemukan dalam Amerika modern. Singkatnya, dapat dikatakan bahwa orang telah memelajari moti keamanan untuk melindungi diri mereka dari kehidupan dan mencoba menghindari situasi yang akan menghalangi mereka dari kepuasan motif primer, umum, dan sekunder. Kenyataannya, keamanan jauh lebih kompleks daripada yang tampak di permukaan. Selain motif keamanan yang sederhana dan didasari sebagaimana telah dideskripsikan, ada juga jenis motif keamanan lain yang jauh lebih rumit dan sulit diidentifikasi. Bentuk keamanan tersebut bersifat tidakdidasari dan sangat dipengaruhi oleh perilaku banyak orang. Motif keamanan yang sederhana dan didasari dapat diatasi dengan program asuransi, rencana tabungan dan benefit lain pada pekerjaan.

e.       Motif Status
Sama halnya dengan keamanan, motif status atau mertabat berhubungan dengan masyarakat dinamis. Orang kaya modern sering digambarkan sebagai pencari status. Meskipn simbol status  dianggap sebagai produk unik dari masyarakat modern, kenyataannya status sudah ada dua atau tiga orang hidup di muka bumi ini.
Status dapat didefinisikan sebagai ranking relatif yang dimiliki seseorang dalam sebuah kelompok, organisasi, atau masyarakat. Dengan definisi ini, setiap dua orang atau lebih berkumpul, hierarki status akan berkembang, sedkipun sepertinya punya atribut yang sama. Simbol status berusaha untuk hanya mempresentasikan ranking relatif seseorang dalam hierarki status. Definisi ini juga memperbaiki kesalahpahaman tentang status yang diartikan “bestatus tinggi”. Setiap orang punya status, tetapi status itu bisa tinggi atau rendah, tergantung bagaimana posisi disusun.

f.       Motif Intrinsik versus Ekstrinsik
Motif bukan hanya dihasilkan oleh kebutuhan, tetapi juga oleh dua kumpulan sumber yang terpisah tapi berhubungan. Sumber tersebut adalah motif intrinsik dan ekstrinsik. Motif ekstrinsik bersifat nyata dan dapat dilihat orang lain. Motif tersebut didistribusikan pada orang lain atau agen. Penghargaan ekstrinsik didasarkan pada kontingensi, yaitu bahwa motivator ekstrinsik tergantung pada kinerja yang dikembangkan atau kinerja yang superior bagi orang lain ditempat kerja yang sama. Motivator ekstrinsik perlu menarik orang ke dalam organisasi dan membuat mereka terus bekerja. Motivator tersebut juga sering digunakan untuk menginspirasi pekerja untuk mencapai level tinggi atau mencapai tujuan baru, dan sebagai imbal balik tambahan adalah kinerja yang meningkat. Akan tetapi, motivator ekstrinsik tidak menjelaskan setiap usaha termotivasi yang dibuat oleh karyawan perseorangan.
Motif ekstrinsik dihasilkan secara internal. Dengan kata lain, motif ttersebut merupakan motivator dimana orang berhubungan dengan tugas atau pekerjaan itu sendiri. Penghargaan intrinsik mencakup perasaan tanggung jawab, pencapaian, prestasi yaitu sesuatu yang dipelajari dari  pengalaman, perasaan tertantang dan kompetitif, atau bahwa sesuatu merupakan tugas atau tujuan yang berhubungan.Melakukan pekerjaan yang berarti/bermakna ada kaitannya dengan motif intrinsik. Yang penting untuk diingat adalah dua jenis motivator tersebut tidak berbeda satu sama lain. Banyak motivator mempunyai komponen intrinsik dan ekstrinsik.
Teori evolusi kognitif menyarankan hubungan yang lebih kompleks, yang memperlengkapi penjelasan mengenai motif intrinsik dan ekstrinsik. Teori inimenyatakan bahwa tugas mungkin memotivasi secara intrinsik, tetapi jika motivator ekstrinsik berhubungan dengan tugas, maka tingkat motivasi aktual mungkin menurun.

Teori-teori Motivasi pada Zaman Dahulu
      Tahun 1950-an merupakan periode subur perkembangan konsep-konsep motivasi. Tiga teori khusus dirumuskan selama periode ini, yang meskipun diserang habis-habisan dan sekarang diragukan validitasnya, mungkin masih merupakan penjelasan-penjelasan mengenai motivasi karyawan yang paling terkenal. Teori-teori tersebut adalah hierarti teori kebutuhan, teori X dan Y, dan teori dua faktor.
a.       Hierarki teori kebutuhan
Barangkali, tepat untuk dikatakan bahwa teori motivasi yang paling terkenal adalah hierarki kebutuhan (hierarchy of needs) milik Abraham Maslow. Ia membuat hipotesis bahwa dalam setiap diri manusia terdapat hierarki dari lima kebutuhan, yaitu:
1.      Fisiologis: meliputi rasa lapar, haus, berlindung, seksual, dan kebutuhan fisik lainnya.
2.      Rasa aman: meliputi rasa ingin dilindungi dari bahaya fisik dan emosional.
3.      Sosial: meliputi rasa kasih sayang, kepemilikan, penerimaan, dan persahabatan.
4.      Penghargaan: meliputi faktor-faktor penghargaan internal seperti hormat diri, otonomi, dan pencapaian; dan faktor-faktor penghargaan eksternal seperti status, pengakuan, dan perhatian.
5.      Aktualisasi diri: dorongan untuk menjadi seseorang sesuai kecakapannya; meliputi pertumbuhan, pencapaian potensi seseorang, dan pemenuhan diri sendiri.
b.      Teori X dan Y
Douglas McGregor mengemukakan dua pandangan nyata mengenai manusia: pandangan pertama pada dasarnya negatif, disebut teori X (Theory X), dan yang kedua pada dasarnya positif, disebut Teori Y (Theory Y). Setelah mengkaji cara para manajer berhubungan dengan para karyawan, McGregor menyimpulkan bahwa pandangan manajer mengenai sifat manusia didasarkan atas beberapa kelompok asumsi tertentu dan bahwa mereka cenderung membentuk perilaku mereka terhadap karyawan berdasarkan asumsi-asumsi tersebut.
            Menurut Teori X, empat asumsi yang dimiliki oleh manajer adalah:
1.      Karyawan pada dasarnya tidak menyukai pekerjaan dan sebisa mungkin berusaha untuk menghindarinya.
2.      Karena karyawan tidak menyukai pekerjaan, mereka harus dipaksa, dikendalikan, atau diancam dengan hukuman untuk mencapai tujuan-tujuan.
3.      Karyawan akan menghindari tanggungjawab dan mencari perintah formal bila mungkin.
4.      Sebagian karyawan menempatkan keamanan diatas semua faktor lain terkait pekerjaan dan menunjukkan sedikit ambisi.
Bertentangan dengan pandangan-pandangan negatif mengenai sifat-sifat manusia dalam Teori X, McGregor menyebutkan empat asumsi positif yang disebutkan sebagai Teori Y:
1.      Karyawan menganggap kerja sebagai hal yang menyenangkan, seperti halnya istirahat atau bermain.
2.      Karyawan akan berlatih mengendalikan diri dan emosi untuk mencapai berbagai tujuan.
3.      Karyawan bersedia belajar untuk menerima, bahkan mencari, tanggungjawab.
4.      Karyawan mampu membuat berbagai keputusan inovatif yang diedarkan ke seluruh populasi, dan bukan hanya bagi mereka yang menduduki posisi manajemen.
Apa sajakah implikasi-implikasi movivasionalnya bila menerima analisis McGregor? Teori X berasumsi bahwa kebutuhan-kebutuhan tingkat yang lebih rendah mendominasi individu. Teori Y berasumsi bahwa kebutuhan-kebutuhan tingkat yang lebih tinggi mendominasi individu. McGregor sendiri yakin bahwa asumsi-asumsi Teori Y lebih valid daripada Teori X. Oleh karena itu, ia mengemukakan berbagai ide seperti pembuatan keputusan partisipatif, pekerjaan yang menantang, serta hubungan kelompok yang baik seperti pendekatan yang akan memaksimalkan motivasi pekerjaan seorang karyawan.
Sayangnya, tidak ada bukti yang menguatkan bahwa asumsi-asumsi tersebut valid atau menerima asumsi-asumsi Teori Y dan mengubah tindakan seseorang sesuai dengan hal tersebut akan menghasilkan lebih banyak pekerja yang termotivasi. Teori-teori PO harus memiliki dukungan empiris agar kita bisa menerimanya. Sama dengan hierarki teori kebutuhan, kurang ada dukungan empiris semacam itu untuk Teori X dan Teori Y.
c.       Teori Dua Faktor
Teori dua faktor (two-factor theory) juga disebut teori motivasi higiene (motivation-hygiene theory) dikemukakan oleh serorang psikolog bernama Frederick Herzberg. Dengan keyakinan bahwa hubungan seorang individu dengan pekerjaan adalah mendasar dan bahwa sikap seseorang terhadap pekerjaan bisa dengan sangat baik menentukan keberhasilan atau kegagalan, Herzberg menyelidiki pertanyaan tersebut, “Apa yang diinginkan individu dari pekerjaan-pekerjaan mereka?” Ia meminta individu untuk mendeskripsikan, secara mendetail, situasi-situasi di mana mereka merasa luar biasa baik atau buruk dengan pekerjaan-pekerjaan mereka. Respons-respons ini kemudian ditabulasi dan dikategorikan.
Dari respons-respons yang dikategorikan, Herzberg menyimpulkan bahwa jawaban-jawaban yang diberi oleh individu ketika mereka mesara baik dengan pekerjaan-pekerjaan mereka berbeda secara signifikan dari jawaban-jawaban yang diberikan ketika mereka merasa buruk. Karakteristik-karakteristik tertentu cenderung terus-menerus berhubungan dengan kepuaasan kerja dan karakteristik-karakteristik lain dengan ketidakpuasan kerja. Faktor-faktor intrinsik, seperti kemajuan, pengakuan, tanggung jawab, dan pencapaian tampaknya berhubungan dengan kepuasan kerja. Responden yang merasa baik dengan diri mereka sendiri. Namun, responden-responden yang tidak puas cenderung menyebutkan faktor-faktor ekstrinsik, seperti pengawasan, imbalan kerja, kebijaksanaan perusahaan, dan kondisi-kondisi kerja.
Data tersebut menunjukkan, menurut Herzberg, bahwa lawan dari kepuasan bukanlah ketidakpuasan, seperti yang pada umumnya kita ketahui. Menghilangkan karakteristik-karakteristik yang tidak memuaskan dari suatu pekerjaan belum tentu membuat pekerjaan tersebut memuaskan. Herzberg mengemukakan bahwa penemuannya menunjukkan adanya kesatuan rangkap: Lawan dari “Kepuasan” adalah “Bukan kepuasan”, dan lawan dari “Ketidakpuasan” adalah “Bukan ketidakpuasan”.
Menurut Herzberg, faktor-faktor yang menghasilkan kepuasan kerja terpisah dan berbeda dari faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan kerja. Oleh karena itu, manajer yang berusaha menghilangkan faktor-faktor yang menimbulkan ketidakpuasan kerja mungkin menghadirkan kenyamanan, namun belum tentu motivasi. Mereka akan membuat ngkatan kerja merasa nyaman, bukan memotivasi. Sebagai hasilnya, kondisi-kondisi yang melindungi pekerjaan seperti kualitas pengawasan, imbalan kerja, dan keamanan pekerjaan digolongkan oleh Herzberg sebagai faktor-faktor higiene (hygiene factors).
Ketika faktor-faktor tersebut memadai, orang-orang tidak akan merasa tidak puas; namun bukan berarti mereka merasa puas. Jika kita ingin memotivasi individu dalam pekerjaan mereka, Herzberg menyatakan penekanan faktor-faktor yang berhubungan dengan pekerjaan itu sendiri atau dengan hasil-hasil yang berasal darinya seperti peluang promosi, peluang pengembangan diri, pengakuan, tanggung jawab, dan pencapaian. Ini merupakan karakteristik-karakteristik yang dianggap berguna secara intrinsik oleh individu.
Teori dua faktor tidak begitu didukung dalam literatur dan menuai banyak kritikan. Kritik-kritik terhadap teori tersebut meliputi:
1.      Prosedur yang digunakan oleh Herzberg dibatasi oleh metodologinya. Ketika segalanya berjalan dengan baik, individu-individu cenderung memuji diri mereka sendiri. Sebaliknya, mereka menyalahkan kegagalan pada lingkungan ekstrinsiknya.
2.      Keandalan metodologi Herzberg diragukan. Para penilai harus membuat berbagai interpretasi, sehingga mereka dapat menggabungkan penemuan dengan menginterpretasikan respons seseorang dalam perilaku tertentu ketika mencoba respons yang sama dengan cara yang berbeda.
3.      Tidak ada ukuran kepuasan yang digunakan secara keseluruhan. Seseorang mungkin tidak menyukai bagian dari suatu pekerjaan namun masih menganggap pekerjaan tersebut bisa diterima secara menyeluruh.
4.      Teori tersebut tidak konsisten dengan penelitian sebelumnya. Teori dua faktor mengabaikan variabel-variabel situasional.
5.      Herzberg mengasumsikan hubungan antara kepuasan dan produktivitas, tetapi metodologi penelitian yang digunakannya hanya melihat kepuasan dan tidak melihat produktivitas. Untuk membuat penelitian ini relevan, seseorang harus mengasumsikan suatu hubungan yang kuat antara kepuasan dan produktivitas.
Meskipun menuai banyak kritikan, teori Herzberg terkenal dan hanya ada sedikit manajer yang tidak mengetahui rekomendasi-rekomendasinya.
Teori-teori Motivasi Kontemporer
a.       Teori Kebutuhan McClelland
Teori kebutuhan McClelland (McClelland theory of needs) dikembangkan oleh David McClelland dan rekan-rekannya. Teori tersebut berfokus pada tiga kebutuhan: pencapaian, kekuatan, dan hubungan. Hal-hal tersebut didefinisikan sebagai berikut:
·         Kebutuhan pencapaian (need of acievement): Dorongan untuk melebihi, mencapai standar-standar, berusaha keras untuk berhasil.
·         Kebutuhan kekuatan (need of power): Kebutuhan untuk membuat individu lain berperilaku sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan berperilaku sebaliknya.
·         Kebutuhan hubungan (need of affiliation): Keinginan untuk menjalin suatu hubungan antarpersonal yang ramah dan akrab.
Beberapa individu memiliki dorongan yang kuat untuk berhasil. Mereka lebih berjuang untuk memperoleh pencapaian pribadi daripada memperoleh penghargaan. Mereka memiliki keinginan untuk melakukan sesuatu dengan lebih baik atau lebih efisien dibandingkan sebelumnya. Dorongan ini merupakan kebutuhan pencapaian (nAch). Dari penelitian terhadap kebutuhan pencapaian, McClelland menemukan bahwa individu dengan prestasi tinggi membedakan diri mereka dari individu lain menurut keinginan mereka untuk melakukan hal-hal dengan lebih baik.
Kebutuhan kekuatan (nPow) adalah keinginan untuk memiliki pengaruh, menjadi yang berpengaruh, dan mengendalikan individu lain. Individu dengan nPow tinggi suka bertanggung jawab, berjuang untuk memengaruhi individu lain, senang ditempatkan dalam situasi yang kompetitif dan berorientasi status, serta cenderung lebih khawatir dengan wibawa dan mendapatkan pengaruh atas individu lain daripada kinerja yang efektif.
Kebutuhan ketiga yang dipisahkan oleh McClelland adalah hubungan (nAff). Kebutuhan ini telah mendapatkan perhatian yang paling sedikit dari para peneliti. Individu dengan motif hubungan yang tinggi berjuang untuk persahabatan, lebih menyukai situasi-situasi yang kooperatif daripada situasi-situasi yang kompetitif, dan menginginkan hubungan-hubungan yang melibatkan tingkat pengertian mutual yang tinggi.
b.      Teori Evaluasi Kognitif
Teori evaluasi kognitif menjelaskan bahwa pengenalan penghargaan ekstrinsik, seperti imbalan kerja, untuk usaha kerja yang sebelumnya memuaskan secara intrinsik karena kesenangan yang berhubungan dengan isi dari pekerjaan itu sendiri cenderung menurunkan seluruh motivasi.teori evaluasi kognitif telah dievaluasi secara ekstensif, dan ada banyak studi yang mendukung.
Menurut sejarah, para teoretikus motivasi biasanya menggap bahwa motivator-motivator intrinsik seperti pencapaian, tanggung jawab, dan kompetensi terpisah dari motivator-motivator ekstrinsik seperti imbalan kerja tinggi, promosi, hubungan pengawas yang baik, dan kondisi kerja yang menyenangkan. Namun, teori evaluasi kognitif menyatakan hal yang sebaliknya. Teori-teori ini memperlihatkan bahwa penghargaan-penghargaan ekstrinsik digunakan oleh organisasi-organisasi sebagai imbalan atas kinerja yang unggul, penghargaan-penghargaan intrinsik, yang berasal dari indiviidu-individu yang melakukan hal yang mereka sukai, berkurang. Dengan kata lain, ketika penghargaan penghargaan ekstrinsik diberikan kepada seseorang karena mengerjakan tugas yang menarik, hal ini justru menurunkan minat intrinsik dalam tugas itu sendiri.
Jika memang valid, teori evaluasi kognitif harus memiliki implikasi-implikasi utama untuk praktik-praktik manajerial. Telah menjadi suatu kebenaran yang tidak dapat disangkal lagi diantara para ahli kompensasi selama bertahun-tahun bahwa jika imbalan kerja atau penghargaan ekstrinsik lainnya adalah motivator-motivator yang efektif, hal tersebut harus bergantung pada kinerja seorang individu. Namun, para teoretikus evaluasi kognitif akan berpendapat bahwa hal ini hanya akan cenderung mengurangi kepuasan internal yang diterima individu tersebut dari pelaksanaan pekerjaan. Pada kenyataannya apabila teori evaluasi kognitif tersebut benar, adalah masuk akal untuk membuat imbalan kerja seorang individu tidak bergantung pada kinerja, guna menghindari penurunan motivasi intrinsik.
Kita telah mengatakan sebelumnya bahwa teori evaluasi kognitif mendapatkan dukungan dalam banyak studi. Namun, teori ini juga menghadapi banyak tantangan, terutama mengenai metodologi yang digunakan dalam studi-studi ini dan dalam interpretasi penemuan-penemuannya. Perkembangan teori evaluasi kognitif baru-baru ini adalah indeks siri (self-concordance), yang mempertimbangkan tingkat sampai mana alasan-alasan seseorang untuk mengejar suatu tujuan konsisten dengan minat dan nilai-nilai inti mereka.
c.       Teori Penentuan Tujuan
Pada akhir tahun 1960-an, Edwin Locke mengemukakan bahwa niat untuk mencapai sebuah tujuan merupakan sumber motivasi kerja yang utama. Artinya, tujuan memberi tahu seorang karyawan apa yang harus dilakukan dan berapa banyak usaha yang harus dikeluarkan. Kita bisa mengatakan bahwa tujuan khusus meningkatkan kinerja; tujuan yang sulit, ketika diterima, menghasilkan kinerja yang lebih tinggi daripada tujuan yang mudah; dan umpan balik menghasilkan kinerja yang lebih tinggi daripada tidak ada umpan balik.
Tujuan yang spesifik memperlihatkan tingkat hasil yang lebih tinggi daripada tujuan umum “lakukan yang terbaik”. Apabila faktor-faktor seperti penerimaan tujuan tetap konstan, kita juga bisa menyatakan bahwa semakin sulit tujuan tersebut, semakin tinggi tingkat kinerja. Tentu saja, adalah logis untuk berasumsi bahwa semakin mudah tujuan-tujuan, semakin besar kemungkinan untuk diterima. Tetapi setelah tugas yang sulit diterima, karyawan tersebut bisa diharapkan untuk mengeluarkan tingkat usaha yang tinggi untuk berusaha mencapainya.
Mengapa individu-individu lebih termotivasi oleh tujuan-tujuan yang sulit? Pertama, tujuan-tujuan sulit mengarahkan perhatian kita pada tugas yang sudah ada dan menjauh dari gangguan-gangguan yang tidak relevan. Tujuan-tujuan yang menantang mendapatkan perhatian kita dan akhirnya  cenderung membantu kita untuk berfokus. Kedua, tujuan-tujuan sulit menambah semangat karena kita harus bekerja lebih keras untuk mencapainya. Ketiga, ketika tujuan-tujuannya sulit, individu tetap berusaha untuk mencapainya. Akhirnya, tujuan-tujuan yang sulit membuat kita menemukan strategi-strategi yang membantu kita melakukan pekerjaan atau tugas dengan lebih efektif. Apabila harus mengusahakan sebuah cara untuk menyelesaikan sebuah masalah sulit, kita sering memikirkan cara yang lebih baik untuk memulainya.
d.      Teori Efektivitas Diri
Efektivitas diri (self-efficacy yang  juga dikenal sebagai “teori kognitif sosial atau ”teori pembelajaran sosial”) merujuk pada keyakinan individu bahwa ia mampu mengerjakan suatu tugas, semakin tinggi efektivitas diri, semakin tinggi rasa percaya diri yang anda miliki dalam kemampuan untuk berhasil dalam suatu tugas. Jadi, dalam situasi-situasi sulit, kita merasa bahwa individu yang memiliki efektivitas diri rendah cenderung mengurangi usaha mereka atau menyerah, sementara individu dengan efektivitas diri tinggi akan berusaha lebih keras untuk mengalahkan tantangan. Selain itu, individu yang mempunyai efektifitas diri yang tinggi tampaknya merespon umpan balik negatif dengan usaha dan motivasi yang lebih tinggi, sementara individu efektivitas diri rendah cenderung mengurangi usaha mereka ketika diberi umpan balik negatif.
Peneliti yang mengembangkan teori efektivitas diri, Albert Bandura memperlihatkan bahwa ada empat cara untuk meningkatkan efektivitas diri:
1.      Penguasaan yang tetap (enactive)
2.      Contoh yang dilakukan oleh individu lain
3.      Bujukan verbal
4.      Kemunculan
Menurut Bandura, sumber peningkatan efektivitas diri yang paling penting adalah apa yang disebutnya dengan penguasaan tetap. Penguasaan tetap adalah perolehan pengalaman yang relevan dengan tugas atau pekerjaan. Apabila berhasil melakukan suatu pekerjaan di masa lalu, akan lebih mampu melakukannya di masa depan. Akhirnya, Bandura memperlihatkan bahwa kemunculan meningkatkan efektivitas diri. Kemunculan memicu keadaan bersemangat yang mendorong seseorang untuk menyelesaikan tugas. Individu tersebut “tergerak” dan bekerja dengan lebih baik. Tetapi ketika tidak relevan, kemunculan merugikan kinerja. Dengan perkataan lain, apabila tugas tersebut adalah sesuatu yang membutuhkan perspektif utama yang lebih rendah dan lebih mantap, kemunculan sebenarnya bisa merugikan kinerja.
e.       Teori Penguatan
Teori yang bertentangan dengan teori penentuan tujuan adalah teorii penguatan (reinforcement theory). Teori sebelumnya adalah sebuah pendekatan kognitif, yang mengemukakan bahwa tujuan-tujuan seorang individu mengarahkan tindakannya. Dalam teori penguatan, kita mempunyai sebuah pendekatan perilaku, yang menunjukkan bahwa penguatan memengaruhi perilaku. Dengan jelas, keduanya berselisih secara fisiologis. Teoretikus-teoretikus penguatan menganggap perilaku disebabkan oleh lingkungan. Dengan peristiwa-peristiwa kognitif internal; yang mengendalikan perilaku adalah penguatan-penguat konsekuensi apa pun yang, ketika langsung diikuti oleh respons, meningkatkan kemungkinan bahwa perilaku itu akan diulang.
Teori penguatan menghasilkan keadaan batin individu dan hanya terpusat pada apa yang terjadi pada seseeorang ketika ia melakukan tindakan. Karena tidak berhubungan dengan apa yang melatarbelakangi perilaku, hal ini bukanlah (dengan tegas) teori motivasi. Tetapi, hal ini memberikan satu cara analisis mengenai apa yang mengendalikan perilaku, dan karena alasan inilah hal ini dipertimbangkan dalam diskusi-diskusi motivasi.
f.       Teori Keadilan
Karyawan membuat perbandingan dari masukan-masukan pekerjaan mereka dan hasil-hasil pekerjaan mereka yang relatif dengan masukan dan hasil individu lain. Kita menghubungkan apa yang kita dapat dari situasi pekerjaan dengan apa yang kita berikan, dan kemudian kita membandingkan rasio hasil-masukan kita dengan rasio-mmasukan individu lain yang relevan. Bila kita merasa rasio kita sama dengan rasio individu lain yang  relevan dengan siapa kita membandingkan diri kita sendiri, bisa dikatakan ada suatu keadaan yang adil. Kita menganggap adil situasi kita bahwa keadilan berlaku. Ketika kita menganggap rasio tersebut tidak adil, kita mengalami ketegangan keadilan. Ketika kita menganggap diri kita diberi penghargaan yang lebih rendah, ketegangan tersebut menimbulkan kemarahan; ketika diberi penghargaan yang lebih tinggi, ketegangan tersebut menimbulkan rasa bersalah. J.Stacy Adams mengemukakan bahwa ketegangan yang negatif ini memberikan motivasi untuk melakukan sesuatu untuk memperbaikinya.
Rujukan yang dipilih oleh seorang karyawan menambah kerumitan teori keadilan (equity theory). Inilah empat perbandingan ujukan yang bisa digunakan oleh seorang karyawan:
1.      Diri-di dalam: Pengalaman-pengalaman seorang karyawan dalam posisi yang berbeda di dalam organisasi karyawan tersebut pada saat ini.
2.      Diri-di luar: Pengalaman-pengalaman seorang karyawan dalam posisi attau situasi di luar organisasi karyawan tersebut pada saat ini.
3.      Individu lain-di dalam: Individu atau kelompok individu lain didalam organisasi karyawan tersebut.
4.      Individu lain-di luar: Individu atau kelompok individu lain di luar organisasi karyawan tersebut.
Berdasarkan teori keadilan, ketika karyawan merasakan ketidakadilan, mereka bisa diperkirakan akan memilih satu dari enam pilihan berikut:
1.      Mengubah masukan-masukan mereka
2.      Mengubah hasil-hasil mereka
3.      Mengubah persepsi-persepsi diri
4.      Mengubah persepsi-persepsi individu lain
5.      Memilih rujukan yang berbeda
6.      Meninggalkan bidang tersebut
Teori tersebut menentukan pernyataan konsep yang berhubungan dengan imbalan kerja yang tidak adil sebagai berikut:
A.    Dengan imbalan kerja yang ada pada saat itu, karyawan-karyawan yang dibayar terlalu tinggi akan bekerja lebih banyak daripada karyawan-karyawan yang dibayar dengan adil. Karyawan-karyawan yang dibayar per jam dan digaji akan menghasilkan kuantitas atau kualitas produksi yang tinggi guna meningkatkan sisi masukan dari rasio dan menghasilkan keadilan.
B.     Dengan imbalan kerja menurut kuantitas produksi, karyawan-karyawan yang dibayar terlalu tinggi akan memproduksi unit-unit yang lebih sedikit tetapi dengan kualitas yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan karyawan-karyawan yang dibayar dengan adil.Individu-individu yang dibayar berdasarkan tarif per bagian akan meningkatkan usaha mereka untuk mencapai keadilan, yang bisa menghasilkan kualitas atau kuantitas yang lebih tinggi. Namun, peningkatan dalam kuantitas hanya akan meningkatkan ketidakadilan, karena setiap unit yang diproduksi mengakibatkan pembayaran yang lebih banyak. Oleh karena itu, usaha ditujukan untuk meningkatkan kualitas daripada meningkatkan kuantitas.
C.     Dengan imbalan kerja pada saat itu, karyawan-karyawan yang dibayar terlalu rendah menghasilkan kualitas hasil yang lebih buruk. Usaha akan berkurang, sehingga menghasilkan produktivitas yang lebih rendah atau hasil dengan kualitas yang lebih buruk bila dibandingkan karyawan-karyawan yang dibayar dengan adil.
D.    Dengan imbalan kerja menurut kuantitas produksi, karyawan-karyawan yang dibayar terlalu rendah akan menghasilkan banyak unit berkualitas rendah bila dibandingkan karyawan-karyawan yang dibayar dengan adil. Karyawan-karyawan yang dibayar berdasarkan tarif  per bagian bisa menghasilkan keadilan karena menukarkan kualitas hasil untuk kuantitas akan menghasilkan peningkatan penghargaan dengan sedikit atau tidak ada peningkatan sama sekali.
Beberapa pernyataan konsep ini mendapatkan dukungan, tetapi yang lain belum. Pertama, ketidakadilan yang diciptakan oleh pembayaran yang berlebihan tampaknya tidak mempunyai pengaruh yang sangat signifikan terhadap perilaku dalam sebagian besar situasi kerja. Rupanya, individu memiliki jauh lebih banyak toleransi terhadap ketidakadilan pembayaran yang berlebih daripada ketidakadilan pembayaran yang lebih sedikit atau lebih bisa menerimanya. Ini cukup merugikan sebuah teori ketika separuh penyamaan kehilangan kapasitas penanggulangannya. Kedua, tidak semua individu memiliki kepekaan yang sama. Prediksi-prediksi dari teorii keadilan kemungkinan besar tidak selalu sangat akurat dengan “jenis-jenis yang toleransi” ini.
g.      Teori Harapan
Baru-baru ini, salah satu penjelasan tentang motivasi yang paling diterima di mana-mana adalah teori harapan(expectancy theory) dari Victor Vroom. Meskipun mendapatkan kritikan, sebagian besar bukti yang ada mendukung teori ini. Teori harapan menunjukkan bahwa kekuatan dari suatu kecenderungan untuk bertindak dalam cara tertentu bergantung pada kekuatan dari suatu harapan bahwa tindakan tersebut akan diikuti dengan hasil yang ada dan pada daya tarik dari hasil itu terhadap individu tersebut. Dalam bentuk yang lebih praktis, teori harapan mengatakan bahwa karyawan-karyawan akan termotivasi untuk mengeluarkan tingkat usaha yang tinggi ketika mereka yakin bahwa usaha tersebut akan menghasilkan penilaian kinerja yang baik; penilaian yang baik akan menghasilkan penghargaan-penghargaan organisasional seperti bonus, kenaikan imbalan kerja, atau promosi; dan penghargaan-penghargaan tersebut akan memuaskan tujuan-tujuan pribadi pada karyawan. Oleh karenanya, teori tersebut berfokus pada tida hubungan:
1.      Hubungan usaha-kinerja. Kemungkinan yang dirasakan oleh individu yang mengeluarkan sejumlah usaha akan menghasilkan kinerja.
2.      Hubungan kinerja-penghargaan. Tingkat sampai mana individu tersebut yakin bahwa bekerja pada tingkat tertentu akan menghasilkan pencapaian yang diinginkan.
3.      Hubungan penghargaan-tujuan pribadi. Tindkat sampai mana penghargaan-penghargaan organisasional memuaskan tujuan-tujuan pribadi atau kebutuhan-kebutuhan seorang individu dan daya tarik dari penghargaan-penghargaan potensial bagi individu tersebut.
Teori harapan membantu menjelaskan mengapa banyak pekerja tidak termotivasi dalam pekerjaan –pekerjaan meraka dan hanya melakukan usaha minimum untuk mencapai sesuatu. Ini sangat jelas ketika kita melihat ketiga hubungan teori tersebut secara lebih mendetail. Kita menghadirkannya dalam bentuk pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab oleh karyawan-karyawan dalam bentuk afirmatif bila motivasi mereka ingin dimaksimalkan.
Ringkasnya, kunci untuk teori harapan adalah pemahaman tujuan-tujuan seorang individu dan hubungan antara usaha dan kinerja, antara kinerja dan penghargaan, dan, akhirnya, antara penghargaan dan pemenuhan tujuan individual. Sebagai kunci model kemungkinan, teori harapan mengakui bahwa tidak ada prinsip unviversal untuk menjelaskan motivasi setiap individu. Selain itu, hanya karena kita memahami kebutuhan-kebutuhan yang ingin dipenugi oleh seseorang tidak menjamin bahwa individu tersebut merasa kinerja yang tinggi selalu membawa dirinya pada pemebuhan kebutuhan-kebutuhan tersebut.
Saran untuk memotivasi karyawan:
1.      Mengakui perbedaan individu. Hampir setiap teori motivasi kontemporer mengakui bahwa karyawan tidak identik. Mereka berbeda dalam kebutuhan, sikap, kepribadian, dan variabel individu penting lainnya.
2.      Mencocokkan orang dengan oekerjaan. Banyak bukti menunjukkan manfaat motivasi dari mencocokkan orang dengan pekerjaannya secara cermat.
3.      Gunakan tujuan. Literatur tentang teori penetapan tujuan menunjukkan bahwa para manajer harus memastikan para karyawan memiliki tujuan yang sulit dan spesifik, serta umpan balik tentang seberapa baik usaha yang mereka lakukan dalam mencapai tujuan tersebut.
4.      Pastikan bahwa tujuan itu diyakini dapat dicapai. Terlepas dari apakah tujuan sebenarnya dapat dicapai, para karyawan yang merasa tujuan perusahaan tidak dapat dicapai akan mengurangi usahanya karena karyawan merasa tidak perlu memikirkannya.
5.      Imbalan berdasarkan individu. Karena para karyawan memiliki kebutuhan yang berbeda, yang bertindak sebagai penguat untuk seseorang mungkin tidak berlaku untuk yang lainnya. Para manajer harus menggunakan pengetahuan mereka tentang perbedaan karyawan untuk membedakan imbalan yang dapat mereka kendalikan, seperti gaji, promosi, pengakuan, tugas pekerja yang diinginkan, otonomi, dan partisipasi.
6.      Kaitkan imbalan dengan kinerja. Manajer perlu membuat imbalan yang terkait dengan kinerja. Faktor imbalan selain kinerja hanya akan memperkuat faktor-faktor lain. Imbalan-imbalan yang penting seperti kenaikan gaji dan promosi harus diberikan atas pencapaian suatu tujuan tertentu. Para manajer juga harus mencari cara untuk meningkatkan vasibilitas imbalan, membuat mereka berpotensi untuk lebih termotivasi.
7.      Memeriksa sistem untuk keadilan. Karyawan harus memahami bahwa imbalan atau hasil adalah sama terhadap input. Pada tingkatan yang sederhana, pengalaman, kemampuan, usaha, dan input yang lainnya harus bisa menjelaskan perbedaan dalam upah, tanggung jawab, dan hasil lainnya. Dan ingat bahwa keadilan seseorang adalah ketidakadilan bagi yang lainnya, sehingga sistem imbalan yang ideal sebaiknya mempertimbangkan input secara berbeda untuk mendapatkan imbalan yang tepat untuk setiap pekerjaan.
8.      Gunakan pengakuan. Akui kekuatan pengakuan. Dalam ekonomi yang stagnan di mana terjadi  pemotongan biaya menyeluruh, menggunakan pengakuan berarti cara termurah untuk menghargai karyawan. Itu merupakan imbalan karena sebagian besar karyawan menganggapnya berharga.
9.      Tunjukkan perhatian dan kepedulian terhadap karyawan anda. Karyawan melakukan pekerjaannya dengan lebih baik bagi para manajer yang peduli kepada mereka. Penelitian yang dilakukan terhadap jutaan karyawan dan puluhan ribu manajer secara konisisten menunjukkan kebenaran sederhana ini: Organisasi terbaik menciptakan lingkungan kerja yang penuh “kepedulian”. Ketika para manajer peduli terhadap karyawannya, hasil kinerja biasanya membaik.
10.  Jangan abaikan uang. Sangat mudah untuk terjebak dalam penetapan tujuan, menciptakan pekerjaan yang menarik, dan memberikan kesempatan berpartisipasi, sehingga membuat lupa bahwa uang adalah alasan utama kebanyakan orang bekerja. Dengan demikian, peningkatan alokasi gaji berbasis konerja, bonus bagian pekerjaan, dan insentif lain penting dalam menentukan motivasi karyawan. Ini tidak berarti bahwa para manajer harus fokus hanya pada uang sebagai alat bantu motivasi. Sebaliknya, artinya sudah jelas: Jika uang dihapus sebagai insentif, orang tidak akan datang untuk bekerja. Hal yang sama tidak dapat dikatakan untuk menghapus tujuan, memperkaya pekerjaan, atau partisipasi.


Daftar Pustaka

Robbins, P.Stephen & Mary Coulter.(2010).Manajemen, Jakarta:Penerbit Erlangga
Luthans, Fred.(2006).Perilaku Organisasi, Yogyakarta:Penerbit ANDI Yogyakarta
Robbins, P.Stephen & Timothy A.Judge.(2008).Perilaku Organisasi.Organizational Behaviour, Jakarta:Penerbit Salemba Empat

Terima kasih sobat telah membaca materi tentang Makalah Motivasi Dalam Organisasi (Pengertian, Motif dan Teori Kontemporer). Semoga materi ini dapat memberi manfaat bagi sobat. Jangan lupa untuk menyimpan link berikut ini https://materi-pendidikan-indonesia.blogspot.com/2016/12/makalah-motivasi-dalam-organisasi.html agar sobat bisa mengunjungi materi ini sewaktu-waktu. Baiklah sampai jumpa di postingan materi-materi selanjutnya.

Postingan terkait: